Uji Sampel COVID-19, Satu Orang Bisa Lebih dari Satu Spesimen
21 Jun 2020 00:07 WIB
Foto : Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan RI, Achmad Yurianto. (Humas BNPB/Dume Harjuti Sinaga)
JAKARTA - Dalam upaya percepatan penanganan COVID-19, Kementerian Kesehatan RI sebagai bagian dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 melakukan tracing melalui pemeriksaan spesimen dari tiap-tiap pasien secara masif di seluruh provinsi di Indonesia.
Hasil pemeriksaan spesimen yang diproses melalui laboratorium tes Polymerase Chain Reaction (PCR) atau Tes Cepat Molekuler (TCM) itu kemudian disebut data primer 'all record' yang masih akan diverifikasi untuk selanjutnya dikelompokkan dan dilaporkan ke Badan Kesehatan Dunia (WHO). Selain itu, hasil data pemeriksaan yang telah diverifikasi tersebut sekaligus sebagai titik awal penentuan tracing lebih lanjut.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan RI, Achmad Yurianto mengatakan bahwa satu orang yang diperiksa dapat menghasilkan lebih dari satu spesimen.
"Ada satu orang dengan tiga spesimen, dengan dua spesimen," ungkap Yuri.
Adapun spesimen tersebut sebagai contoh adalah pemeriksaan uji sampel nasofaring dan orofaring yang diambil dari satu orang. Artinya ada dua spesimen dari satu orang yang kemudian akan diperiksa melalui laboratorium.
Kemudian, hasil uji spesimen tersebut akan diverifikasi apakah hal itu merupakan kasus baru atau kasus yang sebelumnya sudah diperiksa, ditindak lanjuti dan berada dalam masa tunggu uji hasil spesimen atau follow up.
Dari verifikasi tersebut, menurut Yuri, kemudian akan diberi nomor registrasi dan dilaporkan ke WHO sekaligus sebagai acuan titik tracing.
"Setelah ketemu orangnya masih harus kita verifikasi, ini kasus baru atau kasus follow up?," jelas Yuri.
"Karena setiap kasus baru yang kita identifikasi maka kewajiban kita adalah harus memberikan nomor registrasi. Ini COVID nomor berapa. Ini yang kemudian kita laporkan ke WHO. Dan inilah nanti jadi acuan titik tracing," imbunya.
Selanjutnya apabila ternyata kasus follow up, maka akan ditunggu kapan negatifnya sehingga kemudian akan dikelompokkan dan dilaporkan sebagai pasien sembuh COVID-19.
Rapid Test Tidak Dihitung
Menurut Yuri, pemeriksaan uji sampel yang direkomendasikan oleh WHO adalah harus pemeriksaan antigen, yang dalam hal ini menggunakan Real Time PCR atau TCM yang sudah direkomendasikan oleh WHO. Sementara rapid test antibodi tidak masuk dalam pelaporan Kementerian Kesehatan RI.
"Rapid Test kan hanya untuk screening, jadi tidak masuk dalam pelaporan kita," jelas Yuri.
Yuri juga mengatakan bahwa sesuai arahan Presiden Joko Widodo, Gugus Tugas Nasional melalui Kementerian Kesehatan diharapkan dapat melakukan pengetesan secara masif dari 10 ribu menjadi 20 ribu lebih.
Dalam hal ini, istilah masif berbeda dengan massal.
"Masif artinya, harus guidancenya adalah kontak tracing. Jadi semua kasus yang dicurigai dari kontak tracing, (kontak dekat dengan konfirmasi positif COVID-19 yang sudah dipastikan) harus dilakukan tes, dalam rangka untuk mencari dan mengisolasi agar tidak menjadi sumber penularan di komunitasnya," jelas Yuri.
"Kalau massal, berarti siapapun yang datang, random aja kita tes," imbuh Yuri.
Dalam kesempatan tersebut, Yuri juga menambahkan bahwa sebanyak hampir 70 persen kasus terkonfirmasi positif di masyarakat adalah minim keluhan. Adapun keluhan minimal itu kemudian dapat dipersepsikan masyarakat tidak sakit.
"Kalau misalnya; Ya saya batuk tapi jarang-jarang, ya panas tapi tidak tinggi-tinggi banget, jadi aku enggak sakit," jelas Yuri.
Padahal meski tanpa gejala, namun nyatanya apabila kemudian hanya dianggap remeh dan tidak melakukan isolasi mandiri, maka dapat berpotensi bahwa seseorang yang terkonfirmasi positif COVID-19 dapat menularkan kepada masyarakat yang lebih rentan.
"Itu yang harus diperhatikan," pungkas Yuri.
Tim Komunikasi Publik Gugus Tugas Nasional