Refleksi dan Belajar dari Gempa Yogya dan Jateng 15 Tahun Lalu
28 Mei 2021 03:59 WIB
Foto : Titik gempa M5,9 yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah pada 27 Mei 2006. (Istimewa)
JAKARTA – Sebagian dari kita masih mengingat peristiwa gempa M5,9 yang dirasakan warga Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah (Jateng) pada 27 Mei 2006 silam. Guncangan dahsyat kurang dari satu menit menewaskan ribuan warga dan kerusakan bangunan yang sangat masif.
Gempa bumi yang terjadi dini hari tersebut mengagetkan masyarakat di dua wilayah tersebut. Korban meninggal dunia lebih disebabkan tertimpa reruntuhan bangunan tempat tinggal mereka. Gempa bumi dapat terjadi tanpa adanya tanda-tanda pasti; dan dapat terjadi kapan pun. Teknologi ciptaan manusia belum mampu untuk memprediksi waktu gempa akan terjadi.
Belajar dari gempa Yogya dan serangkaian gempa besar yang terjadi, seperti gempa Sumatera Barat (2009), Pidie Jaya (2016), Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Barat (2018) dan Sulawesi Barat (2020), beberapa pendekatan dapat dilakukan untuk menyikapi potensi atau dampak buruk gempa. Pendekatan tersebut yaitu pengelolaan risiko bencana, kolaborasi pentaheliks dan adaptasi revolusi industry 4.0. Hal ini disampaikan Ptl Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB Dr. Raditya Jati pada acara Refleksi 15 Tahun Gempa Bumi DIY- Jateng, pada Kamis (27/5) yang diselenggarakan MDMC secara virtual.
Pada pengelolaan risiko bencana, investasi pengurangan risiko bencana (PRB) dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan maupun mitigasi bencana. Sedangkan pada konteks suatu wilayah yang pernah terdampak, prinsip build back better and safer menjadi sangat penting dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Investasi PRB ini dan penekanan prinsip build back better and safer ini sangat penting karena bencana merupakan suatu peristiwa yang berulang. Kajian saintifik telah menunjukkan bahwa peristiwa gempa dapat terjadi berulang dengan periode perulangan hingga ratusan tahun.
Ada berbagai upaya dalam pengelolaan risiko bencana. Misalnya di beberapa negara maju seperti Jepang, warga melakukan retrofitting pada salah satu ruang yang ada di rumah. Retrofit ini merupakan teknik melengkapi bangunan dengan memodifikasi atau membangun kembali dengan menambah bagian atau peralatan baru yang dianggap perlu karena tidak tersedia pada saat awal pembuatannya.
Upaya seperti ini mungkin masih jarang dilakukan di Indonesia mengingat penambahan biaya yang harus ditanggung setiap keluarga.
Pendekatan berikutnya yaitu kolaborasi pentaheliks. Pentaheliks yang terdiri dari pemerintah, pakar atau akademisi, lembaga usaha, masyarakat dan media massa memiliki peran yang luar biasa dalam penanggulangan bencana. Setiap heliks memiliki kapasitas dan peran masing-masing yang diharapkan untuk saling berkolaborasi dan bekerja sama.
Manfaat kolaborasi pentaheliks ini dapat mencakup beberapa hal, seperti meningkatkan aspek kewaspadaan, akses ke sumber daya, koordinasi dalam PRB maupun pemulihan, serta memperkuat pengambilan keputusan, akses komunikasi serta koordinasi saat tanggap darurat. Contoh pada media massa; heliks ini berperan untuk menyebarluaskan informasi kebencanaan kepada masyarakat. Media massa diharapkan tidak terjebak pada pemberitaan pada saat bencana tetapi terus menerus mengedukasi masyarakat terhadap potensi bahaya atau edukasi risiko bencana.
Terakhir yaitu pendekatan adaptasi revolusi industri 4.0. Modalitas dalam penanggulangan bencana yang dimiliki Indonesia sangat besar. Oleh karena itu, pendekatan berbasis teknologi menjadi salah satu terobosan dalam kebencanaan. Dengan adanya kolaborasi pentaheliks diharapkan terwujud inter-konektivitas. Proses ini akan menghasilkan big data yang dapat digunakan sebagai kajian maupun penciptaan sesuatu. End to end dari terobosan ini untuk keselamatan nyawa manusia.
Merefleksikan kejadian dengan konteks sosial, modalitas sosial memberikan catatan penting untuk membangun resiliensi keluarga, penghidupan yang berkelanjutan serta mengembalikan permukiman kembali dengan lebih baik. Modalitas sosial yang dimiliki oleh masyarakat Yogyakarta dan Jawa Tengah salah satunya kekuatan gotong royong untuk membangun kembali kehidupan pascabencana.
Di samping itu, pemulihan pascabencana dapat berjalan baik dengan adanya sikap kepemimpinan dan komitmen kepala daerah.
Gempa bumi yang terjadi pada 15 tahun lalu itu memiliki parameter kekuatan M5,9 dengan kedalaman sekitar 12 km. Fenomena bumi pada pukul 05.55 WIB menghasilkan intesitas guncangan VI – VII MMI dan menewaskan lebih dari 6.000 jiwa dalam waktu kurang dari 1 menit di wilayah DI Yogyakarta dan Jateng.
Dr. Raditya Jati
Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB