Potensi Risiko Tsunami Selatan Jawa dan PRB Kabupaten Cilacap
30 Des 2020 00:11 WIB
Foto : (BNPB)
JAKARTA – Hasil
riset yang dilakukan BNPB dan ITB mengenai bahaya tsunami di selatan Jawa
menunjukkan adanya potensi gempa yang dapat membangkitkan tsunami di dua lokasi
selatan Jawa. Dua lokasi tersebut berada di kawasan selatan Banten – Jawa Barat
dan selatan Jawa Tengah – Jawa Timur.
Mengantisipasi
temuan ilmiah yang sudah dipublikasikan di dalam jurnal internasional Nature
tersebut, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah mendesain upaya
mitigasi terintegrasi. Salah satu Langkah yakni pembangunan greenbelt yang akan
dilakukan dalam waktu dekat. Greenbelt atau sabuk hijau yang akan dibangun
merupakan gugusan tanaman yang mengkombinasikan dua jenis pohon, yaitu mangrove
dan pohon palaka.
Mangrove
ditanam di sisi menghadap ke laut dengan jenis pandanus atau jenis mangrove
lain yang bisa tumbuh di substrat pasir. Tanaman ini berfungsi untuk mereduksi
energi tsunami. Sedangkan palaka, pohon yang termasuk tanaman keras ini
berfungsi sebagai lapisan pelindung di sisi belakang atau sisi darat.
Abdul Muhari,
Ph.D, Plt. Direktur Pemetaan dan Evakuasi Risiko Bencana BNPB menuturkan bahwa
ketebalan dan formasi penanaman vegetasi ini akan diatur sedemikian rupa
berbasis perhitungan ilmiah agar penetrasi tsunami tidak terlalu jauh ke arah
darat dan dapat meminimalisir korban dan kerusakan di daratan.
“Kegiatan
penanaman ini diupayakan akan dimulai pada awal tahun dengan berkoordinasi
dengan Pemda setempat,” ujar Muhari saat memaparkan hasil riset di hadapan
Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Provinsi Jawa Tengah, pada Senin (28/12).
Selanjutnya,
Muhari menambahkan bahwa berdasarkan hasil riset ini, terdapat segmen yang
berada di selatan Banten – Jawa Barat dengan potensi energi hingga magnitudo
8,8.
“Sedangkan
segmen Jateng - Jatim berpotensi memiliki energi magnitudo 8,9 yang jika
terlepas secara bersamaan akan menghasilkan potensi energi setara magnitudo 9,1,”
ujarnya.
Sementara itu,
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyambut baik informasi yang telah
disampaikan sekaligus memberikan arahan agar para kepala daerah segera
menindaklanjuti informasi tersebut. Rencana mitigasi berbasis ekosistem (greenbelt)
tersebut perlu segera dilakukan karena dapat digunakan sebagai frontline yang
mengurangi dampak tsunami.
“Kita harus
memanfaatkan momentum musim hujan yang masih berlangsung hingga bulan Maret
tahun depan agar penanaman ini dapat berjalan baik dan vegetasi yang dinaman
bisa tumbuh sempurna,” tegas Ganjar.
Berdasarkan
data dari BNPB masih banyak kabupaten yang belum memiliki dokumen perencanaan
penanggulangan bencana di antaranya Kajian Risiko Bencana (KRB).
Ganjar
mendorong agar kabupaten yang belum memilikinya agar segera melakukan
penyusunan KRB dengan pendampingan dari provinsi dan BNPB. Hal ini dapat
dijadikan sebagai langkah awal untuk mengidentifikasi risiko bencana di seluruh
kabupaten untuk selanjutnya menetapkan rencana aksi yang diperlukan.
Hal lain yang
menjadi perhatian Ganjar adalah hasil riset yang disampaikan oleh Abdul Muhari
pada saat tsunami 2011 di Jepang, yang menunjukkan bahwa tsunami seringkali
menghasilkan kerusakan tambahan (collateral damage), seperti kebakaran karena
gelombang yang menerjang kilang minyak menghancurkan tempat penyimpanan minyak
berskala besar, sehingga bahan yang mudah terbakar tersebut akan terbawa air
dan membakar apa saja yang ditemukannya, baik di darat atau di laut.
Menyikapi
potensi tersebut, Ganjar menyampaikan perlu dilakukan pertemuan dengan pihak
Pertamina yang memiliki fasilitas penampungan bahan bakar minyak di Kabupaten
Cilacap. Pertemuan ini bertujuan untuk mendiskusikan perlunya penguatan atau
perbaikan fasilitas-fasilitas vital yang akan berpotensi memberikan collateral
damage pada saat tsunami terjadi.
Di sisi lain,
pemerintah juga perlu memperkuat upaya pengurangan risiko bencana (PRB),
seperti kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana tsunami.
Kesiapsiagaan tersebut dapat dilakukan dengan memperkuat desa tangguh bencana,
melakukan latihan kesiapsiagaan bersama dengan pemerintah dan masyarakat
terutama di daerah sepanjang selatan Jawa, minimal tiga kali dalam satu tahun.
Beberapa daerah
teridentifikasi telah memiliki tempat evakuasi sementara (TES), namun tidak
seluruhnya karena beberapa daerah terletak di dataran rendah. Untuk itu, Dr.
Abdul Muhari menyampaikan untuk daerah-daerah yang berada di dataran rendah,
TES dapat memanfaatkan sekolah atau bangunan-bangunan tinggi yang tahan gempa
dan tsunami.
Selain itu,
fasilitas umum seperti jembatan penyeberangan juga dapat digunakan sebagai
temporary vertical evacuation, seperti yang sudah dilakukan di Jepang.
Fasilitas tersebut harus didesain sedemikian mudah dijangkau oleh masyarakat
yang akan berlari untuk menyelamatkan diri.
Riset mengenai
potensi tsunami ini disampaikan oleh Abdul Muhari dan peneliti Institut
Teknologi Bandung (ITB) Prof. Sri Widyantoro dan Rahma Hanifa di hadapan
Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah, para bupati di kawasan selatan Jawa,
TNI, Polri, serta Forkopimda lingkup Provinsi Jawa Tengah.
Dr. Raditya
Jati
Kepala Pusat
Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB