Penggunaan Dexamethasone dan Hydroxychloroquine pada Pasien COVID-19
30 Jun 2020 04:43 WIB
Foto : Dr. dr. Agus Dwi Susanto Sp.P(K) Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dan Ketua Umum PDPI (Komben BNPB/Dume Harjuti Sinaga)
JAKARTA – Berbagai upaya pendekatan medis diterapkan untuk penanganan pasien Coronavirus disease 2019 atau COVID-19. Salah satunya yang menjadi perbincangan pada dunia medis, yakni penggunaan dexamethasone dan hydroxychloroquine.
Dexamethasone adalah obat yang digunakan untuk mengatasi reaksi alergi, peradangan, serta penyakit autoimun. Sedangkan hydroxychloroquine, obat ini digunakan untuk menangani dan mencegah penyakit malaria juga digunakan untuk menangani penyakit yang menyerang autoimun atau sistem kekebalan tubuh.
Berdasarkan panduan Badan PBB untuk Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO), dexamethasone adalah obat dalam kategori kortikosteroid, yang awalnya tidak direkomendasikan penggunaannya untuk pasien COVID-19, ucap Dr. dr. Agus Dwi Susanto Sp.P(K) selaku Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dan Ketua Umum PDPI pada dialog di Media Center Gugus Tugas Nasional, Jakarta, Senin (29/6).
“Ternyata keluarlah hasil riset yang terbaru dari Eropa yaitu Recovery (Randomised Evaluation of COVID-19 Therapy) trial menyebutkan, dexamethasone ini memberikan dampak yang positif pada pasien-pasien dalam menurunkan mortalitas, terutama pada pasien yang menggunakan ventilator dan pasien-pasien yang menggunakan terapi oksigen (pasien berat),” jelas Dokter Agus.
Meskipun memberikan dampak positif terhadap pasien berat yang menggunakan alat bantu mesin, dexamethasone tidak memberikan dampak yang sama terhadap pasien yang tidak menggunakan alat bantu.
“Hasil riset tersebut menunjukkan penggunaan dexamethasone hanya direkomendasikan pada pasien berat yang menggunakan terapi oksigen dan menggunakan ventilator atau alat bantu napas,” ujarnya.
Pasien yang tidak berada dalam kategori sebagai pasien berat tidak dianjurkan untuk mengonsumsi dexamethasone karena tidak akan berdampak kepada pasien dan hanya akan menimbulkan efek samping.
Walaupun belum dimuat dalam buku panduan dari WHO, beberapa dokter sudah menggunakan dexamethasone untuk menangani pasien kategori berat. Penggunaan obat ini dilandasi atas hasil riset Recovery.
“Beberapa yang menggunakannya (dexamethasone) melaporkan ada progres yang baik kalau pasien itu di awal-awal masuk derajat berat diberikan, tapi kalo sudah late atau terlambat terlihat tidak begitu bagus,” tambah dr. Agus.
Ia juga mengatakan bahwa ini adalah kesimpulan dari beberapa orang sehingga kita masih harus melihat bagaimana perkembangan dari penggunaan dexamethasone ini.
Mengenai hydroxychloroquine, Dokter Agus mengatakan bahwa penggunaan obat ini masih cukup aman pada populasi di Indonesia. Hal ini dilihat dari data-data awal yang menunjukkan bahwa hydroxychloroquine hanya memberikan efek samping yang ringan dan tidak meningkatkan risiko kematian. Selain itu, data awal juga menunjukkan bahwa penggunaan hydroxychloroquine menurunkan lama waktu rawat.
“Tapi kita tentu menunggu hasil akhir dari riset yang sedang dilakukan, kalo hasil akhirnya ternyata memang tidak efektif, tentu kami akan merekomendasikan hal yang berbeda dan akan dihentikan,” jelas dr. Agus mengenai kelanjutan penggunaan hydroxychloroquine pada pasien COVID-19.
Di sisi lain, Direktur Registrasi Obat Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) L. Rizka Andalucia menyampaikan bahwa pihaknya memberikan ijin obat hydroxycloroquine hanya untuk penggunaan kondisi darurat atau dikenal dengan emergency use authorization.
Ia mengatakan bahwa hydroxycloroquine, chloroquine, dan dexamethasone merupakan obat yang sudah lama diberikan izin edar oleh BPOM untuk indikasi non-covid dan ketiga obat tersebut adalah obat keras.
Dokter Agus mengatakan bahwa terdapat beberapa persyaratan penggunaan hydroxychloroquine bagi pasien COVID-19, yaitu: (1) diberikan kepada pasien dewasa dengan usia di bawah 50 tahun; (2) tidak memiliki masalah pada jantung; (3) pada anak, hanya diberikan pada kasus berat dan krisis dengan pemantauan yang ketat; (4) hanya dilakukan pada pasien rawat inap, karena ada efek samping yang harus dipantau; (5) apabila muncul efek samping, harus langsung dihentikan.
“Pasien ringan, sedang, berat bisa diberikan (hydroxychloroquine), yang tidak boleh yang tanpa gejala,” tambah dr. Agus.
Pada kesempatan itu Dokter Agus mengimbau masyarakat untuk tidak secara sembarangan menggunakan kedua obat ini.
“Masyarakat diimbau untuk tidak menggunakan secara sembarangan. Penggunaan obat ini hanya atas rekomendasi dokter,” tutup dr. Agus.
Tim Komunikasi Publik Gugus Tugas Nasional