Mulailah mengetik pada pencarian di atas dan tekan tombol kaca pembesar untuk mencari.

Pandemi, Momentum Revisi UU Kekarantinaan Kesehatan

Dilihat 60 kali
Pandemi, Momentum Revisi UU Kekarantinaan Kesehatan

Foto : Ketua Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 Doni Monardo dalam peluncuran Buku Putih Penanganan Pandemi COVID-19 F-PKS yang diselenggarakan melalui media daring di Jakarta, Kamis (17/12). (Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB/Raditya Jati)


JAKARTA - Ketua Satuan Tugas (Satgas) COVID-19 Doni Monardo, meminta DPR RI menjadikan momentum penanganan COVID-19 sebagai pintu masuk untuk revisi Undang-Undang Kekarantinaan. Hal tersebut ia sampaikan saat tampil sebagai pembicara pada peluncuran dan bedah Buku Putih Penanganan Covid-19 di Indonesia, yang disusun Hj Netty Prasetiyani M. Si, Ketua Tim Covid-19 PKS, bersama Tim Covid-19 Fraksi PKS, DPR RI pada Kamis (17/12).

Dalam kesempatan itu, Doni menyarankan Fraksi PKS DPR RI mengambil inisiatif untuk mengajukan revisi Undang Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

“Inilah moment yang tepat untuk memperbaiki UU Kekarantinan Kesehatan,” tegas Doni.

Doni menambahkan, tahun 2018 saat UU itu disahkan, Pemerintah Indonesia belum memiliki pengalaman dalam menghadapi pandemi seperti sekarang. Mestinya karantina dilakukan secara berjenjang, selektif, dan terukur. Misalnya, karantina tingkat RT, RW atau desa/kelurahan. 

“Bukan karantina wilayah. Sebab akan sulit dilaksanakan. Sementara UU itu mengatur pemberlakukan karantina dengan kompensasi pemerintah mencukupi kebutunan hidup tidak saja warga masyarakat, bahkan termasuk memberi makan hewan peliharaan. Sekali lagi, Fraksi PKS melalui Komisi IX yang membidangi masalah kesehatan bisa memanfaatkan momentum pandemi ini untuk merevisi UU tadi,” ujar Doni.

Adapun UU Kekarantinaan Kesehatan mengatur empat pilihan karantina. Masing-masing karantina rumah, karantina rumah sakit, karantina wilayah, dan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB. Persoalannya, pasal itu belum dilengkapi penjelasan bagaimana upaya pencegahan, termasuk bilamana karantina itu diberlakukan.

Lebih lanjut, Doni juga menyitir UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, Pasal 55 ayat (1). Dalam pasal itu menyebutkan, selama dalam karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak di wilayah karantina, menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.

“Tentu menjadi sangat sulit dilaksanakan. Artinya, Undang-undangnya baik tapi sulit diaplikasikan. Untuk itulah perlu revisi,” tegas Doni.

Dengan pengalaman mengatasi pandemi COVID-19 hampir 10 bulan terakhir, sudah banyak yang bisa dipelajari dan diambil hikmahnya. Muaranya, jika kelak kemudian hari terjadi pandemi serupa, akan mempermudah pemerintah pusat dan daerah untuk bekerja lebih baik karena didukung regulasi dan payung hukum dalam melaksanakan tanggungjawabnya.

Yang tak kalah penting adalah pelibatan unsur-unsur lain, seperti TNI/Polri. Menurut Doni, hal itu harus diakomodir, mengingat penanganan pandemi diperlukan keterlibatan semua elemen bangsa, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, didukung komponen bangsa lain termasuk TNI/Polri dan tokoh-tokoh masyarakat di berbagai daerah.

Ke depan, lanjut Doni, seluruh komponen tersebut harus bekerja lebih keras untuk dapat menjelaskan tentang bahaya COVID-19 kepada publik. Sebab, masih ada 15 persen masyarakat yang belum percaya bisa tertular COVID-19. Ini perlu dilakukan pendekatan dengan melibatkan para tokoh melalui nilai-nilai kearifan lokal di setiap daerah.

“Pemerintah harus mendapatkan dukungan dari seluruh komponen masyarakat, termasuk tokoh-tokoh yang ada di daerah. Setiap persoalan yang ada dalam menghadapi dinamika yang ada di daerah tentu tidak terlepas dari peran tokoh-tokoh non formal. Kita ke depan harus bisa bekerja lebih keras, untuk bisa menjelaskan bahaya COVID-19 ini kepada publik kepada masyarakat. Karena 15 persen masyarakat kita masih ada yang belum percaya tentang COVID-19," kata Doni.

Doni mencontohkan keberhasilan program Citarum Harum, yang melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, tokoh agama, budayawan, akademisi, para pakar, relawan hingga ke ketua RT dan RW. Apabila kerjasama seperti Citarum Harum diadopsi dalam penanganan COVID-19, niscaya kita lebih mudah dalam menyelesaikan persoalan pandemi.

Pandemi COVID-19 merupakan persoalan kolektif, sehingga penanganannya pun harus saling bekerja sama antarelemen bangsa. Dalam urusan penanganan COVID-19, seluruh unsur harus terlibat, sebagaimana yang telah dilakukan oleh PKS dalam menaruh perhatian besar terhadap upaya untuk memutus mata rantai COVID-19. Perhatian itu, salah satunya dibuktikan dengan pembentukan Tim COVID-19 PKS yang diketuai Dr Netty. 

Kebetulan, Doni Monardo mengenal baik Dr Netty. Sebab, saat menggagas dan menggulirkan program Citarum Harum, Doni menjabat Pangdam III/Siliwangi, sementara Dr Netty adalah Ketua Dharma Wanita Pemprov Jawa Barat. Benar, Netty adalah istri Gubernur Jawa Barat dua periode ketika itu: Ahmad Heryawan yang akrab disapa Aher.

Berkat program Citarum Harum, kini sungai yang dulu dijuluki 'the world's dirtiest river', sungai terkotor di dunia. Kini, sungai sepanjang sekitar 290 km itu berangsur-angsur jernir. Ikan-ikan yang dulu punah, kini bermunculan.

Di beberapa anak sungai Citarum, bahkan sudah dipakai berenang anak-anak dan sarana rekreasi keluarga. 

“Semoga kerja sama itu bisa kita lanjutkan ya, Bu Netty. Setelah Citarum Harum, sekarang untuk menanggulangi pandemi COVID-19,” kata Doni kepada Netty.


Kritik sebagai Catatan Penting


Terkait Buku Putih Penanganan COVID-19, Doni mengapresiasi semua usulan, masukan, dan kritik yang semua akan menjadi catatan penting bagi pemerintah dalam penanganan COVID-19 ke depan. Terlebih, sampai hari ini, kita belum tahu kapan pandemi berakhir. Belum ada satu pakar pun yang menjamin kapan COVID-19 sirna.

“Bahkan Bapak Presiden mengingatkan, meski vaksin sudah ada, tapi kita tidak boleh kendor menerapkan protokol kesehatan. Kita harus saling mengingatkan agar disiplin memakai masker, menjaga jarak dan hindari kerumuman, serta sering mencuci tangan memakai sabun,” papar Doni Monardo.

Selain itu, kita harus tetap meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan, agar diberi kesabaran dan ketabahan menghadapi cobaan ini. “Imun juga harus dijaga dengan rajin berolahraga, istirahat cukup, makan makanan bernutrisi, tidak boleh panik dan menjaga hati agar selalu gembira,” tambahnya.


Perubahan Perilaku


Usai paparan Doni Monardo, moderator menanyakan dua hal. Pertama ihwal penerapan “adaptasi kebiasaan baru”, dan kedua tentang upaya mengkoordinasikan berbagai elemen bangsa dalam menghadapi pandemi.

Doni menjelaskan ihwal bidang perubahan perilaku yang menjadi ujung tombak Satgas COVID-19, diketuai Dr Sonny Haryadi. Di bagian ini melibatkan pakar berbagai bidang. Ada antropolog, sosiolog, dan psikolog.

Belajar dari pandemi flu Spanyol yang pernah melanda negeri kita tahun 1918 – 1920 saat masih bernama Hindia Belanda. Ketika itu, pemerintah Hindia Belanda awalnya hanya fokus menangani bidang kesehatan. Puncak pandemi terjadi November 1919.

Pemerintah kolonial saat itu lantas mengubah kebijakan dengan mengedepankan kearifan lokal. Selain faktor kesehatan, juga diperkuat dengan sosialiasi mengenai flu burung lewat medium kebudayaan. Salah satunya memanfaatkan tokoh punokawan dalam dunia pewayangan.

Seperti misalnya, dialog antara punokawan Petruk dan Gareng mengenai flu spanyol. Pesan yang disampaikan adalah imbauan agar masyarakat menerapkan protokol kesehatan.

“Catatan itu kami dapat dari literatur media berbahasa Belanda yang terbit akhir tahun 1919,” kata Doni, yang pernah secara khusus ke Belanda. Ia dibantu tim BNPB melakukan penelusuran data kebencanaan yang pernah melanda negeri kita selama dalam cengkeraman penjajah dulu.

Itu pula alasannya mengapa Doni Monardo mengajak banyak tokoh dari berbagai disiplin dan latar belakang untuk membantu Satgas COVID-19. Bukan hanya itu, Indonesia juga kemudian dicatat sebagai negara yang paling masif melibatkan media dalam menangani pandemi.

Bekerjasama dengan Dewan Pers, Satgas COVID-19 menyelenggarakan program Fellowship Jurnalisme Perubahan Perilaku. Tak kurang dari 5.000 wartawan berbagai jenis media, ikut dalam program itu. Mereka setiap hari memproduksi berita sosialisasi tentang COVID-19, yang terbukti efektif meredam hoax.

“Tidak seperti di masa-masa awal pandemi. Kami kewalahan betul menghadapi hoax. Sekarang sudah jauh berkurang,” kata Doni.

Selain itu, Satgas COVID-19 juga bekerja sama dengan sekitar 800 media, baik televisi, radio, media online, dan media cetak. Beberapa waktu lalu, Doni Monardo bertemu Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan Ketua Dewan Pers Moh. Nuh.

“Dalam kesempatan itu Pak Nuh berharap program kerjasama dengan wartawan dan media dilanjutkan. Kami mendukung. Sebab, 63 persen keberhasilan sosialisasi penanganan pandemi ini ada di tangan media, jadi media berperan vital,” ujar Doni pula.

Kemudian terkait kolaborasi, BNPB sejak mendapat mandat penanganan COVID-19 langsung melibatkan para pakar. “Sebab, kami tidak punya pakar epidimiologi, tidak ada ahli kesehatan masyarakat, namun kami dibantu banyak teman terutama kawan-kawan semasa bertugas di Jawa Barat yang membantu program Citarum Harum. Mereka datang ke saya memberi masukan bagaimana menangani COVID-19.

Kemudian lahirlah konsep kolaborasi yang bersifat 5S-1T. Pertama, Stragegi. Artinya, mengedepankan preventif promotif. Kedua, Struktur berupa kolaborasi Pentehelix berbasia komunitas. Ketiga, Sistem yakni manajemen penanganan berbasis gotong royong. Keempat, Skill, dalam hal ini kepakaran kesehatan masyarakat, epidemiologi, medis, IT, ekonomi, sosial, budaya, dan-lain-lain). Kelimat Speed, artinya disiplin, patuh, militan. Rantai komando dari pusat hingga RT/RW sebagai kunci penanganan perubahan perilaku.

Adapun 1-T adalah Target. “Targetnya adalah yang sehat tetap sehat, yang kurang sehat dan yang sakit diobati sempai sembuh,” papar Doni.



Dr. Raditya Jati

Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB

Penulis


BAGIKAN