Mulailah mengetik pada pencarian di atas dan tekan tombol kaca pembesar untuk mencari.

Kunjungi Kepri, Kepala BNPB Minta Pemda Lakukan Tiga Strategi Penanggulangan Bencana

Dilihat 108 kali
Kunjungi Kepri, Kepala BNPB Minta Pemda Lakukan Tiga Strategi Penanggulangan Bencana

Foto : Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto pada rapat koordinasi yang dilakukan antara BNPB dengan jajaran Pemerintah Provinsi Kepri di Tanjung Pinang, Kamis (3/11). (Komunikasi Kebencanaan BNPB)



PANGKAL PINANG - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto S.Sos.m M.M., mengingatkan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) untuk terus melaksanakan strategi penanggulangan bencana, demi menghadapi potensi ancaman bencana mulai karhutla hingga kejadian lain yang dapat dipicu oleh faktor cuaca dan kondisi tata ruang lingkungan. Strategi itu dimulai dari masa pra-bencana, tanggap darurat dan pascabencana.

Dalam rapat koordinasi yang dilakukan antara BNPB dengan jajaran Pemerintah Provinsi Kepri di Tanjung Pinang, Kamis (3/11), Suharyanto memberikan arahan mulai dari peningkatan kapasitas maupun jumlah sumber daya manusia (SDM) dengan kompetensi di bidang penanggulangan bencana.

Suharyanto berharap SDM yang akan bertugas di lapangan agar disiapkan dari berbagai instansi yang ada di provinsi hingga lingkup kabupaten/kota, desa/kelurahan dan RT/RW. Di samping itu, Suharyanto juga menekankan agar pemerintah daerah setempat membekali seluruh personel dengan pelatihan dan pendidikan khusus kebencanaan.

“Siapkan orangnya, dilatih kemampuannya untuk lebih siap siaga menghadapi bencana,” jelas Suharyanto.

Dalam pelaksanaan penanggulangan bencana menurut Suharyanto, pemerintah daerah juga perlu menyiapkan rencana kontijensi berkelanjutan yang dapat diterapkan sesuai porsi di wilayahnya masing-masing. Rencana kontijensi tersebut harus mencakup seluruh teknis penyusunan skenario kejadian bencana, penetapan tujuan, kebijakan dan strategi penanganan darurat bencana, penetapan struktur komando hingga perencanaan bidang operasi.

“Harus punya rencana kontijensi dalam menghadapi bencana,” kata Suharyanto.

Lebih lanjut, Suharyanto juga menekankan pentingnya sistem peralatan alutsista dalam penanggulangan bencana. Seluruh perangkat, peralatan dan kebutuhan teknis lainnya harus dimiliki oleh pemerintah daerah. Sebab, peralatan menjadi bagian dari indikator kesiapan dan kekuatan setiap daerah dalam penanggulangan bencana.

“Siapkan peralatannya, jika masih kekurangan bisa mengajukan secara terbatas kepada BNPB,” kata Suharyanto.

Khusus untuk masa pra-bencana, hal lain yang perlu juga disiapkan adalah patroli rutin untuk melihat dan memonitor kondisi lapangan untuk melakukan upaya pencegahan dan mitigasi sebelum terjadi bencana. Khususnya untuk memitigasi bencana yang dapat dipicu oleh faktor cuaca, monitoring DAS dan selokan termasuk lereng perbukitan hendaknya dilakukan secara berkala. Sebab, kondisi dan tata kelola lingkungan yang tidak baik dapat meningkatkan kerentanan suatu wilayah dari ancaman bencana.  

“Patroli! Kalau ada selokan mampet, lihat lereng-lereng apabila ada pohon tumbang,” pinta Suharyanto.


Tanggap Darurat

Memasuki masa tanggap darurat atau saat terjadi bencana, Suharyanto meminta agar pemerintah daerah yang memiliki tugas dan tanggung jawab dalam penanggulangan bencana agar segera turun ke lapangan sesegera mungkin. Selain untuk mendata dan kaji cepat, Suharyanto juga meminta agar tim yang bertugas turut serta membawa logistik dan peralatan demi memenuhi kebutuhan dasar masyarakat terdampak. Dalam hal ini, keselamatan masyarakat menjadi hukum tertinggi dan mutlak untuk diprioritaskan.

“Harus dalam waktu 1 x 24 jam datang ke lokasi bantu masyarakat,” jelas Suharyanto.

“Keselamatan rakyat ini hukum yang tertinggi,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Suharyanto berharap kepada pemerintah daerah agar segera menetapkan status tanggap darurat bencana. Hal itu menjadi penting, sebab dengan status tanggap darurat tersebut maka seluruh stakeholder dapat segera turun membantu dalam penanggulangan bencana, termasuk bantuan-bantuan dari BNPB dan pemerintah pusat lainnya.

“Begitu terjadi bencana langsung tetapkan status tanggap darurat. Karena dengan itu seluruh perangkat OPD dapat memberikan dukungan,” jelas Suharyanto.

Suharyanto menginginkan penanganan bencana pada masa tanggap darurat dapat dilakukan dengan cepat dan tidak berlarut-larut agar dapat segera beralih ke tahap selanjutnya, yakni rehabilitasi dan rekonstruksi.

Adapun indikator penetapan status tanggap darurat tersebut juga harus mencakup bagaimana penanganan korban, baik yang meninggal dunia maupun luka-luka sudah dapat tertangani, pendataan kerusakan bangunan dan infrastruktur dapat diselesaikan, pemenuhan kebutuhan dasar dari permakanan, sanitasi dan sebagainya.

“Semakin lama pendataannya, maka semakin lama kita masuk ke tahap berikutnya,” kata Suharyanto.

“Pastikan sudah tertangani mulai dari korban meninggal, data terdampak kerusakan, sudah ada dapur lapangan, pengungsian, MCK, sanitasi dan semuanya sudah beres,” tambahnya.


Rehabilitasi dan Rekonstruksi

Memasuki masa pascabencana atau rehabilitasi dan rekonstruksi, Suharyanto mengingatkan kembali kepada pemerintah daerah agar penyelesaian pendataan pada masa tanggap darurat dapat diselesaikan dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Pendataan menjadi unsur yang paling penting untuk memulai tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi pada penanganan bencana.

Suharyanto masih melihat kendala-kendala tahap rehabilitasi dan rekonstruksi ini justru ada pada proses pendataan yang tidak selesai dan terlambat. Akibat lambatnya proses pendataan ini kemudian mempengaruhi hal yang lain sehingga warga penyintas bencana menjadi terkatung-katung dalam ketidak pastian dan penderitaan. Padahal rumah warga yang rusak  terdampak bencana dapat segera ditanggung oleh pemerintah melalui baik melalui dana siap pakai (DSP) saat tanggap dan transisi darurat, maupun melalui mekanisme hibah.

“Daerah ini kadang-kadang lambat dalam mendata dampak bencana. Rumah rusak karena bencana itu bisa ditanggung pemerintah,” jelas Suharyanto.

“Semakin lama proses ini maka rakyat semakin menderita,” imbuhnya.

Pada tren bencana sejak 2015 hingga 2021 di Provinsi Kepulauan Riau, Kabupaten Bintan menjadi wilayah yang paling banyak mengalami kejadian bencana hingga 124 kali, disusul Kota Tanjung Pinang sebanyak 63 kejadian dan Kota Batam 50 kejadian.

Dari rangkaian kejadian bencana itu, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menjadi bencana yang paling mendominasi. Sejak tahun 2012 hingga 2021 tercatat ada 164 kejadian karhutla di Provinsi Kepulauan Riau. Akan tetapi jenis kejadian bencana yang berdampak pada kerusakan rumah dan penghidupan masyarakat yang lain justru disebabkan oleh cuaca ekstrem takni sebanyak 1.300 rumah.

Selanjutnya bencana yang paling banyak memakan korban di Provinsi Kepulauan Riau adalah banjir. Adapun total korban meninggal dunia ada sebanyak 10 orang sejak 2012-2021 dan ada sebanyak 16.145 warga yang menderita maupun mengungsi.

Dari seluruh rangkaian catatan kejadian bencana itu, nilai indeks resiko bencana Kepulauan Riau senilai 114.71 pada kategori sedang dengan ancaman bencana seperti tanah longsor, kekeringan, cuaca ekstrem, dan kebakaran hutan.



Abdul Muhari, Ph.D. 

Plt. Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB

Penulis


BAGIKAN