Kopi Puntang Menyibak Kenangan Dua Jenderal
11 Jun 2020 15:19 WIB
Foto : (Dimas)
Tahukah Anda, efek plasebo menghirup seduhan kopi ternyata tidak hanya mendatangkan perasaan relaks, seperti dilansir Jurnal Science Alert, Amerika Serikat. Bagi dua orang jenderal ini, secangkir kopi bahkan bisa merajut sepanjang jalan kenangan.
Setidaknya, itulah kesan yang saya tangkap Selasa (9/6/2020) saat Ketua Gugus Tugas Covid-19, Letjen TNI Doni Monardo menerima kunjungan KSAL Laksamana TNI Yudo Margono. Bertempat di ruang kerjanya, Lantai 10 Graha BNPB, Jl. Pramuka, Jakarta Timur, tuan rumah Doni Monardo menyuguhkan Kopi Puntang.
Kopi favorit Doni Monardo itu memang sudah kesohor. Bahkan saat kunjungan ke Jenewa dan Den Haag Belanda Mei tahun lalu Doni pun membekali dirinya dengan kopi puntang. Memang, Kopi Gunung Puntang, Jawa Barat pernah menjuarai Specialty Coffee Association of America Expo di Atlanta, Amerika Serikat, tahun 2016.
Laksamana Yudo dan Letjen Doni terlibat pembicaraan menyusuri jalan kenangan di awal bulan Februari 2020. Saat itu, keduanya terlibat kerjasama spartan dan solid mengarantina 238 WNI asal Kota Wuhan, Ibukota Provinsi Hubei, China. Doni Monardo dalam kapasitas sebagai Kepala BNPB, sedangkan Laksamana Madya (saat itu) Yudo Margono sebagai Panglima Kogabwilhan 1.
Teritori Kogabwilhan 1 meliputi wilayah darat: Sumatera, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Sedangkan wilayah laut yang dikuasainya meliputi pererairan di sekitar Sumatera, DKI, Banten, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan ALKI-1 beserta perairan sekitarnya. Untuk wilayah udara, meliputi di atas Sumatera, DKI, Banten, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tegah dan ALKI-1 beserta perairan sekitarnya.
“Ketika mendapat berita itu, saya segera meluncur ke Natuna, menjumpai Bapak Menko PMK, Menkes, dan Kepala BNPB,” kenang lelaki kelahiran Madiun 26 November 1965 itu.
Masih segar dalam ingatan Laksamana Yudo dan Letjen Doni, bahwa menit, jam, dan hari-hari yang bergulir sejak pertemuan akhir Januari 2020 itu menjadi waktu yang berputar dengan torsi penuh. Sangat kencang, tetapi harus dijaga agar tetap presisi.
Betapa tidak. Keesokan harinya, 1 Februari 2020 satu pesawat komersial berikut tenaga medis diterbangkan ke Wuhan, menjemput WNI plus personel dari KBRI Beijing.
Natuna adalah tempat yang dipilih untuk mengkarantina mereka. “Semula mau memakai Komplek Komposit Marinir, tapi urung, dan akhirnya diputuskan memakai hangar Pangkalan Udara (Lanut) Raden Sajad Saleh,” ujar alumnus AAL angkatan ke-33 tahun 1988 itu.
Pembatalan pemakaian Komplek Komposit Marinir yang menjadi markas prajurit serta gudang persenjataan itu, karena dua alasan. Pertama, lokasinya harus dilalui melintas Kota Ranai, Kecamatan Bunguran Timur, ibukota Kabupaten Natuna. Kedua, fasilitas yang ada di komplek itu dinilai kurang memadai.
“Mengapa menjadi kenangan tak terlupakan? Bayangkan, dalam waktu kurang dari dua hari, kami harus mengubah hangar menjadi lokasi karantina,” kisah Laksamana Yudo.
Laksana legenda penciptaan Candi Sewu oleh Bandung Bondowoso dalam waktu satu malam, kurang lebih seperti itulah Yudo Margono dan prajuritnya bekerja. Penyiapan tempat tidur lengkap dengan fasilitas pendingin ruangan, hingga sarana MCK lengkap dengan penyediaan sabun, shampo, sikat gigi, dan odol sampai dengan gunting kuku. Tak ketinggalan pakaian dalam, baju kaos dan celana tidur.
“Tak hanya itu, kami juga menyiapkan fasilitas hiburan seperti karaoke, sport center, dan lain-lain. Di samping, membuat run down kegiatan para penghuni karantina sehari-hari, selama 14 hari. Mulai dari olahraga pagi, kegiatan ibadah menurut keyakinan para penghuni karantina, sampai hal-hal lain terkait penyediaan wifi dan sebagainya. Pendek kata, itu semua menjadi kenangan yang tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup. Saya berterima kasih kepada pak Doni yang telah melibatkan kami dalam tugas itu,” papar Yudo.
Doni tersenyum haru mendengar kisah nostalgia yang dipaparkan Laksamana Yudo. Tidak kalah takzim, Letjen Doni balas mengucapkan terima kasih dan apresiasi sebesar-besarnya atas kerja keras Yudo dan para prajurit Kogabwilhan 1. Inilah salah satu kerjasama dengan militer terbaik yang pernah ia rasakan.
Apalagi, persoalan yang mengemuka saat itu bukan saja persoalan teknis penyiapan sarana karantina. Ada persoalan lain yang tak kalah krusial, yakni aksi demo masyarakat Natuna yang menolak karantina WNI dari Wuhan. Mereka ketakutan, masuknya ratusan WNI dari kota pertama ditemukannya virus corona itu, akan menularkan wabah di pulau Natuna yang indah.
Hari bersejarah itu pun tiba. Pagi 2 Februari 2020, sebanyak 238 WNI ditambah 5 petugas pendamping dari KBRI Beijing tiba di Bandara Internasional Hang Nadim, Batam menggunakan pesawat komersial. Dari Batam, disiapkan tiga unit pesawat, masing-masing satu hercules, dan dua boeing untuk membawanya ke Natuna.
Syahdan, 14 hari waktu karantina pun berlangsung dengan relatif lancar dan memuaskan banyak pihak. Di satu sisi, masyarakat Natuna akhirnya menyadari bahwa mereka memang benar-benar dalam kondisi sehat seperti disampaikan Presiden Joko Widodo di awal. Berkat dukungan masyarakat Natuna pula, akhirnya WNI dan staf KBRI yang menjalani karantina itu dinyatakan sehat, dan diperbolehkan kembali ke daerah masing-masing.
Mimpi Buruk World Dream
Belum habis kopi puntang di cangkir putih berlogo BNPB ketika Laksamana Yudo melanjutkan nostalgianya bersama Doni Monardo. Kisah dramatis penyiapan karantina di Natuna, ternyata menjadi seri pertama. Sebab, masih ada seri kedua yang tak kalah seru, yakni evakuasi Anak Buah Kapal (ABK) Warga Negara Indonesia (WNI) di kapal pesiar mewah World Dream di Pulau Sebaru, Kepulauan Seribu, Jakarta.
Suatu hari, Doni menghubungi Yudo dan mengabarkan Dream Cruise Hong Kong, yang mengoperasikan kapal pesiar World Dream, untuk menurunkan ABK asal Indonesia. Tugas Doni kepada Yudo adalah, "menahan" kapal barang sehari-dua, sambil menyiapkan Pulau Sebaru Kecil, sebagai tempat karantina 188 ABK World Dream.
Yudo mengaku tidak mudah. Sebab, kapal itu mendesak untuk bisa mendapat izin menurunkan ABK asal Indonesia, atau melanjutkan perjalanan ke Filipina. Yudo pun melakukan negosiasi, dengan dukungan Doni Monardo. Termasuk dukungan biaya selama menunggu, jika diperlukan.
“Persoalannya, kapal itu pintar. Mereka meminta izin dari posisi perairan internasional antara Malaysia dan Pulau Bintan. Kalau saja mereka sudah ada di perairan Indonesia, saya punya kewenangan untuk menahan,” ujar Yudo.
Melalui negosiasi yang alot, Yudo berhasil membuat World Dream menunggu di perairan Malaysia. Selama itu, Yudo dan para prajurit Kogabwilhan menyiapkan Pulau Sebaru kecil untuk karantina ABK tadi.
Syahdan, Jumat sore tanggal 28 Februari 2020, para ABK tadi berhasil dievakuasi menggunakan kapal perang TNI-AL (KRI Soeharso).
Saat persiapan sarana di Pulau Sebaru, Yudo juga mengkisahkan anggotanya sempat tertahan angin kencang. "mendekati Pulau Sebaru, angin kecang dan dan gelombang pasang. Saya minta TNI-AL mengerahkan armada amphibi untuk memboyong peralatan menuju dermaga Pulau Sebaru. Wah... penuh perjuangan...,” kata Yudo. Ada tawa di bibirnya, tetapi tatapan matanya seperti menerawang jauh ke waktu yang telah lewat.
Selesaikah persoalan ABK World Dream? Masih panjang kisah. Ada cerita soal kesulitan air bersih, ada kejadian demo ABK yang membuat Yudo harus mengambil sikap tegas.
Bermula dari ekspektasi berlebihan para ABK. Demi mendengar bahwa mereka harus menjalani karantina di Pulau Sebaru, maka para ABK tadi pun mencari tahu ihwal Pulau Sebaru melalui laman google. Tentu saja, image yang muncul adalah foto-foto sebuah pulau yang elok rupa.
Apa daya, ekspektasi mereka terlalu berlebihan. Karenanya, mereka menjadi kecewa ketika mendapati tempat karantina yang terbilang sederhana. Bahkan tiga hari karantina, mereka langsung dihadapkan para problem kesulitan air bersih. Sebab, mata air di Sebaru, mendadak kering karena disedot tak kurang dari 100 ton air setiap hari.
“Kami segera mengerahkan kapal TNI AL yang mampu memasok 2.000 ton air ke Sebaru. Tapi, satu persoalan air selesai, persoalan lain muncul seperti genset yang mati, dan kami segera datangkan genset milik Lantamal,” tutur Yudo.
Suatu hari, para ABK yang terbiasa hidup di kapal pesiar, merasa tidak tahan hidup di karantina Pulau Sebaru. Mereka kecewa karena kenyataannya tidak seindah yang mereka bayangkan. Meski, cukup memadai dari sisi fisik bangunan dan fasilitas yang disiapkan pemerintah.
Sebagai bentuk pelampiasan rasa kecewa, mereka melakukan unjuk rasa, dengan melakukan aksi corat-coret di dinding dan jendela kaca bangunan karantina. Mendengar itu, Yudo hanya bisa mengelus dada. Tapi, toh dia harus turun tangan menenangkan dan memberi pengertian.
Jika hari hari sebelumnya Yudo mengunjungi Pulau Sebaru menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) secara lengkap, hari itu ia datang tanpa APD, dan mengenakan pakaian loreng, pakaian dinas lapangan tentara. Lengkap (ketika itu) dengan pangkat tiga bintang di pundak kiri-kanan.
Dengan nada berat dan tatap mata tajam, kepada para ABK yang melakukan demo, Yudo meminta untuk menerima keadaan. Setidaknya selama 14 hari sebelum mereka dinyatakan benar-benar sehat dan diperbolehkan pulang berkumpul bersama keluarga.
Berkat ketegasan dan pendekatan persuasif, sejak itu, tidak ada lagi masalah. Mereka semua mau menerima keadaan, dan menyadari posisi dan kondisinya.
Jiwa Patriot di Wisma Atlet
Persinggungan Laksamana Yudo dan Letjen Doni berlanjut ke kerja bersama mewujudkan Rumah Sakit Darurat Covid-19 di Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta Pusat. Tidak sedikit prajuritnya yang ditempatkan di Wisma Atlet sejak dioperasikan 23 Maret 2020.
Bahkan, secara khusus KSAL Yudo Margono memuji para sukarelawan yang telah bekerja di RS Darurat Wisma Atlet Kemayoran. Mereka sangat berani dan berdedikasi tinggi untuk penanganan pasien Covid-19. Mereka dinilai memiliki semangat dan jiwa patriot yang sangat tinggi.
Tak heran jika kepada Doni Monardo, ia menyampaikan keinginannya untuk merekrut mereka sebagai personel TNI-AL, jika ada bersedia.
Yudo menambahkan bahwa lulusan SMA atau sederajat dan sarjana yang memiliki kualifikasi dan prasyarat personel AL akan direkrut sesuai bidang masing-masing. Rumah sakit AL membutuhkan prajurit berkualifikasi kesehatan atau para medis. “Para relawan dinilai memiliki kualifikasi lebih, dalam hal keberanian, keikhlasan, dan totalitas dalam bekerja di medan tempur dengan musuh yang bahkan tak bisa kita lihat,” tambahnya.
Marinir untuk Surabaya
Tanpa disadari, pengembaraan kenangan dua jenderal ini begitu intens, sehingga jarum jam terasa melaju lebih cepat dari biasanya. Belum hilang rasa pekat-nikmat kopi puntang di lidah, waktu sudah bergulir lebih dari 60 menit lamanya. Toh, belum ada tanda-tanda kedua jenderal ini menghentikan bincang bincangnya.
Kali ini giliran Doni menyampaikan permintaan secara khusus kepada KSAL Yudo Margono. Kaitannya dengan perilaku sebagian masyarakat Surabaya yang nekad, dan berakibat tingginya angka korban yang terpapar corona.
Doni tahu persis, pasukan elit TNI-AL, yakni korps marinir, sangat dicintai masyarakat Surabaya khususnya, Jawa Timur pada umumnya. Sebab, AAL memang berada di kota Surabaya. Kota ini juga punya Bumi Marinir di Karangpilang. Bukan hanya itu, secara reguler Korps Marinir mengangkat citra Jawa Timur dengan gelaran lomba renang menyeberangi selat Madura.
Demi melihat kedekatan TNI-AL, khususnya marinir dengan warga Surabaya, maka melalui KSAL, Doni meminta pasukan marinir membantu Gubernur Khofifah Indar Parawansa dan Walikota Tri Risma Harini, agar lebih efektif menerapkan protokol kesehatan di daerahnya.
Yudo menyambut baik permintaan Doni Monardo. Sebagai KSAL, Yudo menyatakan komitmennya untuk selalu bersama Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. “Setidaknya saya sudah berpengalaman menerima tugas-tugas berat dari pak Doni. Dan kami mendapat pelajaran berharga, seberat apa pun pekerjaan, jika kita kerjakan dengan gigih dan militan, maka semua bisa kita kerjakan. Kerjasama dan kerja keras sejak Natuna, Sebaru hingga Wisma Atlet membuktikan itu,” papar Yudo bangga.
Satu “titipan” lagi dari Jenderal Doni kepada Laksamana Yudo adalah, pesan nasionalisme dan bela negara melalui prajurit marinir yang diterjunkan di Surabaya. “Saya yakin, pasukan marinir mampu menggerakan anak-anak muda kota Surabaya untuk terjun membantu sesama sebagai relawan. Mereka adalah putra-putri kota pahlawan, jadi saya yakin mudah bagi marinir untuk mengajak mereka menjadi relawan,” ujar Doni Monardo.
Doni juga prihatin melihat jumlah relawan Jawa Timur yang sangat kecil. Sebagai perbandingan, per akhir Maret 2020, jumlah pendaftar relawan terbanyak ditempati Jawa Barat (1.445 orang) disusul DKI Jakarta (1.384 orang). Sedangkan Jawa Timur hanya 559 pendaftar. Kabar dari Gubernur Jatim, sebagian besar dari pelajar, mahasiswa, dan komunitas Tionghoa.
Sebagai penutup tulisan, izinkan saya menyampaikan kenangan saya pribadi. Suatu hari ketika di Natuna, Doni Monardo berkata, “Orang ini (yang dimaksud adalah Yudo Margono-pen) kerjanya sangat bagus. Suatu saat, beliau layak menjadi Kasal.”
Selamat, Laksamana! Jales veva jaya mahe! (*)