(Edukasi Kebencanaan) - Membangun Resiliensi Pascagempa Nusa Tenggara Barat Tiga Tahun Lalu
05 Agt 2021 16:56 WIB
Foto : Foto udara kerusakan bangunan akibat Gempa dengan magnitudo (M)6,9 yang melanda wilayah Nusa Tenggara Barat pada 5 Agustus 2018 lalu. (Bidang PDSI/Andri Cipto Utomo)
JAKARTA – Tiga tahun lalu, tepatnya 5 Agustus 2018, guncangan kuat melanda wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB). Gempa dengan magnitudo (M)6,9 ini mengakibatkan 137.658 rumah rusak dan jatuhnya 526 korban jiwa. Memperingati tiga tahun pascagempa tersebut, sendi-sendi kehidupan masyarakat diharapkan sudah kembali pulih dan tangguh dalam menghadapi potensi gempa bumi.
Melihat kilas balik gempa waktu itu, fenomena aktivitas tektonik yang terjadi malam hari, pukul 19.46 Wita, mengagetkan masyarakat setempat. Guncangan dengan M6,9 tersebut merupakan gempa mainshock yang sebelumnya telah juga terjadi gempa foreshock dengan M6,4 pada 29 Juli 2018, pukul 06.47 Wita. Gempa 5 Agustus lalu berpusat di darat 28 km barat laut Lombok Timur, NTB, dengan kedalaman 15 km.
Kekuatan guncangan yang diukur dengan skala Modified Mercalli Intensity (MMI) menunjukkan wilayah Mataram VII MMI, Bima, Karangasem, Denpasar V – VI MMI, Kuta III – IV MMI, Waingapu III MMI, Banyuwangi, Situbondo, Malang II – III MMI.
Selanjutnya gempa dengan magnitudo besar kembali terjadi pada 9 Agustus 2018, pukul 13.25 waktu setempat atau Wita. Pusat gempa M5,9 tersebut berada pada kedalaman 14 km. Selang beberapa hari kemudian, tepatnya pada 19 Agustus 2018, NTB diguncang dua gempa besar, yaitu bermagnitudo (M)6,5 pada pukul 12.10 Wita dan M6,9 pada pukul 22.56 Wita.
Pembelajaran Pascagempa
Resiliensi masyarakat pada fase pra maupun pascabencana dapat dibangun dengan strategi pengurangan risiko bencana, salah satunya upaya mitigasi. Menurut Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, mitigasi merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Kegiatan mitigasi ini dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, seperti pelaksanaan penataan ruang, pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan dan penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, serta pelatihan baik secara konvensional maupun modern. Pendekatan ini biasa dikelompokkan menjadi mitigasi struktural dan nonstruktural.
Pada proses pemulihan pascagempa, pemerintah selalu menekankan prinsip build back better and safer, khususnya dalam pembangunan kembali rumah warga yang rusak. Masyarakat kemudian memanfaatkan beragam teknologi rumah tahan gempa yang ditawarkan, seperti rumah instan sederhana sehat (risha), rumah instan kayu (rika) dan rumah unggul sistem panel instan (ruspin).
Hingga saat ini pembangunan kembali rumah rusak bagi warga NTB masih terus dilakukan oleh pemerintah daerah. Data BNPB per 9 Juli 2021 mencatat total rumah selesai sejumlah 211.820 unit dan rumah dalam proses pengerjaan sejumlah 14.610 unit. Jumlah rumah rusak tersebut merupakan total kerusakan yang dipicu oleh gempak sejak 29 Juli 2018 hingga 19 Agustus 2018.
Pembangunan rumah kembali dengan struktur tahan gempa sangat dibutuhkan oleh masyarakat NTB. Hal tersebut tidak terlepas dari kondisi alam NTB yang memiliki potensi bahaya gempa bumi. Catatan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Pulau Lombok merupakan kawasan seismik aktif. Ada dua pembangkit gempa dari sisi selatan, yaitu zona subduksi lempeng Indo-Australia dan sisi utara, struktur geologi sesar naik Flores.
Kondisi yang sudah ’given’ ini perlu disikapi masyarakat setempat dengan saksama. Masyarakat telah belajar, kekuatan gempa dapat memberikan katastrofe di wilayahnya. Dampak besar tersebut tidak hanya pada jumlah kerusakan bangunan gedung atau pun rumah warga, tetapi juga banyaknya korban jiwa yang disebabkan reruntuhan bangunan tidak tahan gempa. BNPB mencatat total jumlah korban meninggal mencapai 564 jiwa, luka-luka 1.883 dan mengungsi lebih dari 390 ribu jiwa pada serangkaian gempa NTB waktu itu.
Selain mitigasi struktural tadi, upaya nonstruktural perlu menjadi perhatian masyarakat hingga tingkat keluarga. Semakin besar kapasitas yang dimiliki oleh individu atau anggota keluarga, risiko yang dihadapi akan semakin kecil, atau bahkan dapat dihindari. Meskipun masyarakat telah tinggal di rumah tahan gempa, kesiapsiagaan menghadapi gempa tetap dibutuhkan. Gempa dapat terjadi kapan pun dan dimana pun. Situasi seperti ini yang perlu direspons dengan baik oleh setiap anggota keluarga.
Dalam lingkup kecil, komunitas dapat melakukan kajian risiko secara mandiri maupun dengan pendampingan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat. Setiap keluarga memiliki tingkat risiko yang berbeda meskipun mereka berada di suatu kawasan yang sama. Keluarga dapat memanfaatkan aplikasi inaRISK untuk melihat potensi bahaya gempa dan penilaian cepat sederhana untuk mengetahui ketahanan bangunan melalui fitur ACeBS (asesmen cepat bangunan sederhana) pada aplikasi tersebut.
Sementara itu, beberapa faktor dapat mempengaruhi tingkat risiko di dalam keluarga, misalnya tingkat pengetahuan cara evakuasi, identifikasi titik aman di dalam rumah, anggota keluarga yang disabilitas atau kurangnya latihan menghadapi gempa.
Gempa tiga tahun lalu itu telah memberikan banyak pembelajaran, mulai dari penanganan darurat bencana, proses pemulihan hingga membangun kesadaran dan resiliensi masyarakat dalam menghadapi bencana. Fenomena gempa adalah suatu keniscayaan sehingga literasi maupun edukasi kebencanaan diharapkan tumbuh dalam setiap keluarga dari generasi ke generasi berikutnya.
Abdul Muhari, Ph.D.
Plt. Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB