Analisa Kejadian Banjir Bandang Sukabumi
23 Sep 2020 21:23 WIB
Foto : Sedikitnya 127 unit rumah yang tersebar di 11 desa terdampak, dengan rincian 34 unit rumah rusak berat (RB), 23 rusak sedang (RS) dan 70 rusak ringan (RR) akibat bencana banjir bandang Sukabumi yang terjadi pada Senin (21/9). (TRC BNPB)
JAKARTA - Bencana banjir bandang Sukabumi yang terjadi pada Senin (21/9), telah mengakibatkan dua warga meninggal dunia dan seorang warga masih dalam proses pencarian. Sementara itu ada 10 orang luka-luka yang dilarikan ke Rumah Sakit terdekat.
Menurut data yang dirangkum hingga Rabu (23/9) pukul 13.00 WIB, peristiwa tersebut telah berdampak pada 176 KK/525 jiwa dan sebanyak 78 jiwa terpaksa harus mengungsi.
Sedikitnya 127 unit rumah yang tersebar di 11 desa terdampak, dengan rincian 34 unit rumah rusak berat (RB), 23 rusak sedang (RS) dan 70 rusak ringan (RR).
Berdasarkan analisa sementara yang dihimpun Pusat Pengendali dan Operasi (Pusdalops) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), wilayah kejadian banjir bandang Sukabumi merupakan dataran rendah yang berada di bawah kaki Gunung Salak dan dilalui beberapa sungai, yakni Sungai Citarik-Cipeuncit dan Sungai Cibojong.
Menurut monitoring bahaya Banjir Bandang InaRisk BNPB, wilayah yang terdampak itu memiliki indeks bahaya SEDANG hingga TINGGI terhadap banjir bandang.
Di sisi lain, berdasarkan pantauan GPM-NASA (inaWARE) dalam 24 Jam terakhir sebelum kejadian, wilayah hulu atau di sebelah utara Sukabumi maupun di wilayah yang terdampak mengalami curah hujan Sedang-Tinggi dengan intensitas hingga-120 mm.
Hujan dengan intensitas tinggi tersebut menyebabkan massa air di daerah hulu menjadi semakin besar.
Adapun kondisi wilayah sungai yang rusak dan banyak terjadi erosi serta sedimentasi menyebabkan potensi terbentuk bendung alami.
Ketika bendung alami tersebut menjadi besar dan terganggu keseimbangannya oleh intensitas hujan tinggi, kemudian menyebabkan bendung alami tersebut berpotensi terjadi limpasan air beserta lumpur dengan jumlah yang besar dan cepat, atau yang kemudian disebut banjir bandang.
Berikutnya, berdasarkan analisis citra Himawari-8 LAPAN, sebelum terjadinya banjir bandang pada pukul 16.40 WIB, hujan terdeteksi terjadi sejak pukul 15.30 WIB dengan intensitas sedang 40 mm/jam kemudian semakin meningkat menjadi 100 mm/jam pada pukul 16.40.
Intensitas hujan tertinggi berada pada bagian hulu yaitu di sekitar Gunung Salak.
Pantauan tersebut menimbulkan adanya kemungkinan hujan yang terakumulasi dalam 24 jam terakhir menjadi tertampung di daerah hulu kemudian meluap dan menghancurkan bendung alami yang diduga terbentuk dibagian hulu sungai.
Selanjutnya berdasarkan hasil monitoring Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), curah hujan yang terukur di wilayah Pos Perkeb Tugu Menteng, Kecamatan Lengkong dan Pos Ganesha, Kecamatan Cisolok adalah sebesar 88 mm dan 57 mm. Curah hujan tersebut tergolong tinggi.
Analisis meteorologi BMKG berdasarkan citra radar, tampak bahwa pada pukul 14.08 WIB, Senin 21 (21/9) terdapat pertumbuhan awan konvektif di Sukabumi bagian utara dan Selatan. Awan Konvektif tersebut berupa Cumulunimbus (CB) yang terbentuk sangat cepat dan intensif.
Dari hasil analisa tersebut, kesimpulan yang didapat adalah bahwa meluapnya Sungai Citarik-Cipeucit dan Sungai Cibojong menjadi faktor penyebab terjadinya banjir bandang.
Dalam 24 Jam terakhir sebelum kejadian wilayah hulu, atau di sebelah utara Sukabumi maupun di wilayah terdampak mengalami curah hujan Sedang-Tinggi dengan intensitas hingga-120 mm. Intensitas hujan tertinggi berada pada bagian hulu yaitu di sekitar Gunung Salak.
Kemungkinan hujan yang terakumulasi dalam 24 jam terakhir yang tertampung di daerah hulu kemudian meluap dan menghancurkan bendung alami yang diduga terbentuk dibagian hulu sungai.
Dr. Raditya Jati
Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB