DISKUSI HFA 2: PENGUATAN TATA KELOLA RISIKO DAN AKUNTABILITAS
08 Okt 2013 03:38 WIB
Foto : DISKUSI HFA 2: PENGUATAN TATA KELOLA RISIKO DAN AKUNTABILITAS ()
Pada tanggal 8 Oktober 2013 pukul 19.00-22.00 WITA di Hotel Lombok Raya, Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) dilakukan “Diskusi HFA 2: Penguatan Tata Kelola Risiko dan Akuntabilitas” dengan dihadiri lebih dari 30 orang pelaku penanggulangan bencana. Kegiatan ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan dalam acara Peringatan Bulan PRB 2013 di Mataram. Sebagai fasilitator diskusi adalah Henry Pirade dari Australia Indonesia Facility for Disaster Reduction (AIFDR) dan dan Heny Dwi Vidiarina dari Project for Training, Education, and Consulting for Tsunami Early Warning System (PROTECS ) GIZ International Services. Pelaksanaan diskusi ini didukung oleh Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI), Paltform Nasional Pengurangan Risiko Bencana (Planas PRB) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Kerangka Pengurangan Risiko Bencana (PRB) global pertama yang dikenal dengan Hyogo Framework for Action (HFA) disepakati oleh 168 negara pada tahun 2005. Kerangka ini menjadi pegangan dan landasan kuat dalam upaya-upaya pengurangan risiko bencana yang dilakukan secara internasional maupun di masing-masing negara yang terlibat , termasuk Indonesia.
Kerangka ini akan berakhir pada 2015 dan Indonesia (dan juga 167 negara lain) telah mengirimkan laporan pencapaian yang telah dilakukan dari HFA 1. Proses evaluasi dari pelaksanaan kerangka ini dari setiap angggota juga sudah dijalankan. Sejak 2012 beberapa negara dan juga Indonesia telah melakukan mencari masukan, aspirasi dan input untuk kerangka kerja global PRB berikutnya atau disebut HFA 2. Salah satu tema dalam HFA 2 adalah mengenai “Penguatan Tata Kelola Risiko dan Akuntabilitas”.
Pembelajaran dari HFA1 menunjukkan PRB adalah persoalan pembangunan dan tata kelola. Tata kelola risiko penting untuk memastikan pilihan jalan pembangunan dan investasi mengarah pada pengelolaan dan pengurangan risiko bencana yang efektif. Sejalan dengan itu, perlunya mekanisme tata kelola dan akuntabilitas yang sesuai sudah jelas terefleksi dalam berbagai publikasi regional belakangan ini dan dalam konsultasi-konsultasi HFA2. Sebagai masukan untuk diskusi ini, penting mengeksplorasi aspek-aspek kunci dalam tata kelola risiko dan akuntabilitas yang efektif.
Untuk penjabaran lebih lanjut ada pertanyaan kunci dan pertanyaan turunan. Pertanyaan kunci adalah “Bagaimana memperkuat mekanisme tata kelola risiko dan akuntabilitas dalam PRB dan pembangunan ketangguhan?”
Pertanyaan-pertanyaan turunan antara lain:
- Apa saja kesenjangan utama dalam model/mekanisme tata kelola risiko yang ada sekarang ini pada tingkat regional, nasional dan lokal, terutama di tingkat lokal? Apa tindakan yang perlu diambil untuk menutup kesenjangan tersebut?
- Bagaimana kerangka akuntabilitas dalam PRB dapat didefinisikan, apa komponen-komponen utama kerangka akuntabilitas yang efektif?
- Bagaimana target dan indikator dapat digunakan untuk mendukung akuntabilitas?
- Apa mekanisme pengawasan dan pelaporan (pada tingkat nasional dan lokal) yang diperlukan?
- Siapa harus bertanggung jawab kepada siapa?
- Contoh Praktik
a. Contoh mekanisme dan model tata kelola risiko yang berhasil, apa elemen kunci penentu keberhasilan dan keberlanjutan?
b. Contoh bagaimana target dipakai untuk menopang akuntabilitas dan mekanisme pemantauan dan pengawasan yang efektif.
Selain itu apa kerangka akuntabilitas untuk membahas isu ini dalam HFA2?
- Siapa yang bertanggung jawab melaksanakan tindakan yang direkomendasikan?
- Kepada siapa aktor-aktor itu bertanggung jawab?
- Apa saja target dan indikator yang dapat dipakai untuk mengukur kemajuan dan menopang akuntabilitas?
- Bagaimana target-target dan indikator-indikator ini dapat dipantau dan diukur?
Dari hasil diskusi di atas dapat diketahui tentang prinsip tata kelola yang baik dan kesenjangannya. Ada delapan prinsip tata kelola yang baik, yaitu 1) partisipasi, 2) responsif, 3) akuntabel, 4) setara dan inklusif, 5) mengikuti aturan main, 6) bisa dilaksanakan, 7) berorientasi pada kesepakatan, dan 8) efektif dan efisien.
Dalam menjalankan tata kelola dan akuntabilitas terdapat kesenjangan utama, antara lain: Pertama, komitmen politik dalam melakukan pengurangan risiko bencana (PRB) berjangka pendek dan pendekatan kurang sistematis. Kedua, mengenai peraturan dan penganggaran dengan dasar kerangka hukum lemah serta sumber daya keuangan tidak dijamin. Ketiga, tentang pelembagaan PRB dilaksanakan dengan kapasitas kelembagaan yang tidak dikaji dan tidak ditingkatkan serta peran, mandat, tanggung jawab tidak jelas.
Untuk membahas ketiga kesenjangan itu kemudian peserta diskusi dibagi ke dalam tiga kelompok. Para peserta diskusi ini kemudian menyepakati sirkulasi hasil diskusi yang lebih rinci dan waktu untuk diskusi topik-topik lanjutannya. Hasil-hasil diskusinya akan diformulasi dan kemudian disampaikan kepada United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR) sebagai masukan resmi dari Indonesia.
--- dp ---
<!--[if gte mso 9]><xml>